Adalah PT. Nauli Sawit, perusahaan perkebunan yang beroperasi di Tapanuli Tengah—hingga saat ini tidak diketahui siapa pemilik perusahaan. Sengketa lahan bermula dari masuknya perusahaan untuk melakukan penanaman. Tanah masyarakat diambil, tanaman kelapa dan palawija milik masyarakat ditebangi, berganti tanaman sawit. Juni 2004, Nauli Sawit mulai melakukan penamanan di tanah masyarakat pada Juni 2004, padahal ijin prinsip untuk mengolah tanah tidak dikantongi. Sampai saat ini, Nauli Sawit terbukti tidak memiliki ijin HGU untuk operasional perkebunan. Namun anehnya, hal ini tidak disikapi sebagai sebuah pelanggaran hukum oleh pemerintah daerah.
Perampasan tanah di kawasan Tapanuli Tengah juga terjadi di Kecamatan Manduamas, Sirandorung, dan Andam Dewi, secara keseluruhan mencapai 6.000-an hektare. Lahan di wilayah itu umumnya ditempati transmigran umum, non-transmigran, dan pengungsi konflik Aceh 1979. Penyerobotan juga terjadi di Kecamatan Sosorgadong dan Sorkam Barat, mencapai 100-an hektare. Penyerobotan tanah di wilayah ini diduga dilakukan PT Nauli Sawit dan pejabat pemerintah kabupaten. Di Desa Sitardas Lorong Aek Lobu (sekitar 210 hektare) dan Desa Simarlelan (sekitar 600 hektar) diduga diserobot oleh PT CPA. Pelebaran jalan yang merupakan proyek pembangunan Bandara Udara Pinangsori juga mengakibatkan 41 keluarga anggota Kelompok Tani Aek Sirara pergi tanpa ganti rugi.
PT Nauli Sawit belum memiliki izin apapun selain izin prinsip dari Bupati Tapteng atas 6000 hektare lahan yang diklaim warga sebagai miliknya. BPN daerah (Badan Pertanahan Nasional) sendiri mengaku belum mengeluarkan izin HGU (Hak Guna Usaha) kepada PT Nauli Sawit, namun sudah menguasai lahan milik rakyat yang memiliki alas hak berupa sertifikat. Bahkan sebanyak 3500 hektar dari 6000 hektar areal yang diberi izin prinsip dari Bupati Tapteng, kini sudah dikuasai dan ditanami sawit tanpa proses ganti rugi.
Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Tapanuli Tengah.
Rentang waktu perjuangan rakyat merebut kembali tanah yang dirampas, telah banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM di Tapanuli Tengah. Kekerasan dan pelanggaran HAM berupa pembunuhan terhadap Partahian Simanungkalit, penyerobotan lahan milik warga transmigrasi dan tanah adat oleh PT Nauli Sawit, pembakaran rumah Edianto Simatupang (koordinator Forum Pembela Tanah Rakyat), pembakaran hasil panen dan tanah milik warga, teror dan intimidasi terhadap warga desa, penikaman terhadap Edianto Simatupang oleh oknum preman, penjarahan terhadap 10 warga petani, mutasi sepihak tanpa ada kejelasan dan kriminalisasi Pastor Rantinus Manalu Pr— Ketua Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga, dan Robinson Tarihoran, ketua kelompok tani dari desa Purba Tua, hingga menghembuskan isu agama untuk memecah belah masyarakat.
Bisa dikatakan, Tuani Lumbantobing, kepala daerah Tapanuli Tengah yang menjadi dalang dari dari semua kekerasan dan pemiskinan yang terjadi di tanah Tapteng. Tuani Lumbantobing, begitu menganak emaskan Nauli Sawit, dimana bukti kepemilikan lahan oleh sebagian masyarakat tidak dianggap, dan menegaskan bahwa Nauli Sawit berkontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi seperti apa jika rakyat dirampas haknya? Istri dipisahkan dari suaminya? Masyarakat hidup dalam tekanan dan ancaman?
Keistimewaan lainnya, sebagai perusahaan perkebunan yang tidak diketahui ijin dan pemiliknya, pengamanan NS dilakukan langsung oleh aparat kepolisian berseragam lengkap dengan senjata. Pertanyaannya, apakah aparat kepolisian kini bertugas menjadi satpam perkebunan? Selain itu, aksi-aksi demonstrasi masyarakat di kabupaten maupun propinsi, selalu dibenturkan dengan aparat, baik PP maupun aparat kepolisian. Dalam melakukan tugas-tugasnya, polisi jelas telah melanggar ketentuan UU No 2 tahun 2002, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pengayom masyarakat dan menjunjung tinggi prinsip keadilan di muka hukum. Polisi justru menjadi teror bagi masyarakat, mengingat dengan mudahnya polisi melakukan kriminalisasi atas sekian upaya perjuangan rakyat. Bukti yang terakhir adalah tuduhan Rantinus Manalu sebagai perambah hutan tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sejauh ini, kasus Rantinus Manalu tidak ada kejelasan, dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan, jelas merupakan bentuk tindakan pelanggaran hukum dan profesionalitas polisi, namun jika dihentikan, kepolisian harus bisa memberikan penjelasan atas tindakannya sebaia lembaga pengamanan masyarakat.
Tangkap dan Adili Tuani Lumbantobing
Salah kaprah otonomi daerah harus segera bisa diatasi, jika tidak ingin menambah beban penderitaan rakyat di bumi pertiwi. Tuani Lumbantobing, jelas bukan representasi dari pejabat yang berpartisipasi dalam good governance. Di tengah maraknya pemberantasan korupsi, Tuani Lumbantobing justru menjadi pelaku korupsi utama di Tapanuli Tengah. Perlu dicatat, anggaran sebesar Rp. 1 milyar untuk program reboisasi yang hingga kini tidak ada kelanjutannya. Uang telah dicairkan, namun tidak ada bukti konkrit dari pelaksanaan program. Kemudian, sekian kejahatan, kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kekuasaannya, tidak ada reaksi apapun. Terkait warganya yang mati terbunuh akibat perjuangan merebut kembali lahan, pembakaran rumah warganya yang gigih memperjuangkan tanah harus dikembalikan. DPRD Sumetara Utara, DPR RI juga telah membahas, membentuk tim untuk penyelidikan dan pemeriksaan Tuani Lumbantobing, namun sebagai raja penguasa, ketua partai Demokrat ini dengan ‘cuek’ tidak menggubrisnya. Sekali lagi, demokrasi seperti apa yang ingin diwujudkan, jika hukum hanya menyentuh orang-orang pinggiran? "sumber SAHATTARIDA"