Senin, 08 Maret 2010

KABAR TAPANULI TENGAH

Dari Perampasan Tanah Hingga Kriminalisasi Perjuangan Rakyat Demokrasi = Tangkap dan Adili Tuani!!! Otak Kejahatan dan Pemiskin

Tanah sebagai satu-satunya sumber penghidupan dirampas, perjuangan rakyat Tapanuli Tengah untuk merebut kembali tanah yang menjadi hak telah dilakukan dengan berbagai upaya prosedur normative telah dilakukan. Namun hingga saat ini belum membuahkan hasil.

Adalah PT. Nauli Sawit, perusahaan perkebunan yang beroperasi di Tapanuli Tengah—hingga saat ini tidak diketahui siapa pemilik perusahaan. Sengketa lahan bermula dari masuknya perusahaan untuk melakukan penanaman. Tanah masyarakat diambil, tanaman kelapa dan palawija milik masyarakat ditebangi, berganti tanaman sawit. Juni 2004, Nauli Sawit mulai melakukan penamanan di tanah masyarakat pada Juni 2004, padahal ijin prinsip untuk mengolah tanah tidak dikantongi. Sampai saat ini, Nauli Sawit terbukti tidak memiliki ijin HGU untuk operasional perkebunan. Namun anehnya, hal ini tidak disikapi sebagai sebuah pelanggaran hukum oleh pemerintah daerah.

Perampasan tanah di kawasan Tapanuli Tengah juga terjadi di Kecamatan Manduamas, Sirandorung, dan Andam Dewi, secara keseluruhan mencapai 6.000-an hektare. Lahan di wilayah itu umumnya ditempati transmigran umum, non-transmigran, dan pengungsi konflik Aceh 1979. Penyerobotan juga terjadi di Kecamatan Sosorgadong dan Sorkam Barat, mencapai 100-an hektare. Penyerobotan tanah di wilayah ini diduga dilakukan PT Nauli Sawit dan pejabat pemerintah kabupaten. Di Desa Sitardas Lorong Aek Lobu (sekitar 210 hektare) dan Desa Simarlelan (sekitar 600 hektar) diduga diserobot oleh PT CPA. Pelebaran jalan yang merupakan proyek pembangunan Bandara Udara Pinangsori juga mengakibatkan 41 keluarga anggota Kelompok Tani Aek Sirara pergi tanpa ganti rugi.

PT Nauli Sawit belum memiliki izin apapun selain izin prinsip dari Bupati Tapteng atas 6000 hektare lahan yang diklaim warga sebagai miliknya. BPN daerah (Badan Pertanahan Nasional) sendiri mengaku belum mengeluarkan izin HGU (Hak Guna Usaha) kepada PT Nauli Sawit, namun sudah menguasai lahan milik rakyat yang memiliki alas hak berupa sertifikat. Bahkan sebanyak 3500 hektar dari 6000 hektar areal yang diberi izin prinsip dari Bupati Tapteng, kini sudah dikuasai dan ditanami sawit tanpa proses ganti rugi.

Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Tapanuli Tengah.
Rentang waktu perjuangan rakyat merebut kembali tanah yang dirampas, telah banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM di Tapanuli Tengah. Kekerasan dan pelanggaran HAM berupa pembunuhan terhadap Partahian Simanungkalit, penyerobotan lahan milik warga transmigrasi dan tanah adat oleh PT Nauli Sawit, pembakaran rumah Edianto Simatupang (koordinator Forum Pembela Tanah Rakyat), pembakaran hasil panen dan tanah milik warga, teror dan intimidasi terhadap warga desa, penikaman terhadap Edianto Simatupang oleh oknum preman, penjarahan terhadap 10 warga petani, mutasi sepihak tanpa ada kejelasan dan kriminalisasi Pastor Rantinus Manalu Pr— Ketua Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga, dan Robinson Tarihoran, ketua kelompok tani dari desa Purba Tua, hingga menghembuskan isu agama untuk memecah belah masyarakat.

Bisa dikatakan, Tuani Lumbantobing, kepala daerah Tapanuli Tengah yang menjadi dalang dari dari semua kekerasan dan pemiskinan yang terjadi di tanah Tapteng. Tuani Lumbantobing, begitu menganak emaskan Nauli Sawit, dimana bukti kepemilikan lahan oleh sebagian masyarakat tidak dianggap, dan menegaskan bahwa Nauli Sawit berkontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi seperti apa jika rakyat dirampas haknya? Istri dipisahkan dari suaminya? Masyarakat hidup dalam tekanan dan ancaman?

Keistimewaan lainnya, sebagai perusahaan perkebunan yang tidak diketahui ijin dan pemiliknya, pengamanan NS dilakukan langsung oleh aparat kepolisian berseragam lengkap dengan senjata. Pertanyaannya, apakah aparat kepolisian kini bertugas menjadi satpam perkebunan? Selain itu, aksi-aksi demonstrasi masyarakat di kabupaten maupun propinsi, selalu dibenturkan dengan aparat, baik PP maupun aparat kepolisian. Dalam melakukan tugas-tugasnya, polisi jelas telah melanggar ketentuan UU No 2 tahun 2002, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pengayom masyarakat dan menjunjung tinggi prinsip keadilan di muka hukum. Polisi justru menjadi teror bagi masyarakat, mengingat dengan mudahnya polisi melakukan kriminalisasi atas sekian upaya perjuangan rakyat. Bukti yang terakhir adalah tuduhan Rantinus Manalu sebagai perambah hutan tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sejauh ini, kasus Rantinus Manalu tidak ada kejelasan, dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan, jelas merupakan bentuk tindakan pelanggaran hukum dan profesionalitas polisi, namun jika dihentikan, kepolisian harus bisa memberikan penjelasan atas tindakannya sebaia lembaga pengamanan masyarakat.

Tangkap dan Adili Tuani Lumbantobing
Salah kaprah otonomi daerah harus segera bisa diatasi, jika tidak ingin menambah beban penderitaan rakyat di bumi pertiwi. Tuani Lumbantobing, jelas bukan representasi dari pejabat yang berpartisipasi dalam good governance. Di tengah maraknya pemberantasan korupsi, Tuani Lumbantobing justru menjadi pelaku korupsi utama di Tapanuli Tengah. Perlu dicatat, anggaran sebesar Rp. 1 milyar untuk program reboisasi yang hingga kini tidak ada kelanjutannya. Uang telah dicairkan, namun tidak ada bukti konkrit dari pelaksanaan program. Kemudian, sekian kejahatan, kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kekuasaannya, tidak ada reaksi apapun. Terkait warganya yang mati terbunuh akibat perjuangan merebut kembali lahan, pembakaran rumah warganya yang gigih memperjuangkan tanah harus dikembalikan. DPRD Sumetara Utara, DPR RI juga telah membahas, membentuk tim untuk penyelidikan dan pemeriksaan Tuani Lumbantobing, namun sebagai raja penguasa, ketua partai Demokrat ini dengan ‘cuek’ tidak menggubrisnya. Sekali lagi, demokrasi seperti apa yang ingin diwujudkan, jika hukum hanya menyentuh orang-orang pinggiran? "sumber SAHATTARIDA"

Selasa, 23 Februari 2010

BACK IN TOUCH ECOTOURISM






Back In Touch Ecotourism is a nature resort located near Bukit Lawang, inside the buffer zone of Gunung Leuser National Park (TNGL) in the exact path of very famous Bahorok river with cubbing facilities(traditional rafting), began in the movement as the alternative tourists visiting foreign countries. Back In Touch Ecotourism located 2 km or about 45 minutes tracking from TNGL Office.

Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang has prepared a range of facilities including accommodation with a natural concept, restaurant, tropical garden and a variety of flora and fauna which measures the entire region covered by TNGL the Dipterocarpaceae forest thick with several rivers and waterfalls. There are rare plants and typical of a giant umbrella leaf (Johannesteijsmannia altifrons), Raflesia (Rafflesia atjehensis and R. micropylora) and Rhizanthes zippelnii which is the largest flower with a diameter of 1.5 meters. In addition, there are unique plants and endangered species and are protected in national parks such as monkeys (Mecaca nemestrina), long-tailed monkey (Macaca fascicularis), gibbon (Symphalagus syndactylus), Sumatran tiger(Panthera tigris sumatrae), introspective / orangutan (Pongo abelii), goat forests (Capricornis sumatraensis), hornbill (Buceros bicornis), sambar deer (Cervus unicolor), and bobcat (Prionailurus bengalensis sumatrana).

Development is the centered of the consideration for the ecological balance and saving forests by the people. Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang forests with large areas covering 30 ha, the most special features is the development area and camping ground tracking and facilities "West Cam", and development of research center with the concept of saving people's forest-oriented research core of flora and fauna breeding center orangutans in Bukit Lawang is just above the mouth of the river with a challenging track and a unique transport facilities (canopy pully transportation) at Back In Bukit Lawang Taouch Ecotourism and planning a variety of fauna Natural 'captivity in order to prevent displacement of the ecosystem of fauna habitat.

All of these programs aim to open a tourism-based economic isolation which has been hampered by inadequate facilities. Certainly the economic development of ecotourism is not simply in terms of business but to encourage the ability to survive the outskirts of the forest without forest exploitation. This idea also arose over concern for global warming or improvement of environmental quality in the world. Area of alternative development movement Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang currently experiencing a lot of controversy, one of the debates that have not been equally understandable is the "old paradigm that says every economic development of forest area will cause environmental damage”. True, but the effect was applies only for a moment and not much to the environmental damage itself.


In the future, we must understand that when a moment of economic thinking patterns of forest edge communities from tourism to farming communities, or sellers of wood, we can imagine, let alone forests, national parks itself is slowly going out as the cause of the continued insistence Economy twisting. And we will continue to explain in one sentence is important as the philosophical basis and so we need to understand with
"how could people want to preserve the forest edge of the forest, if they do not eat from the forest itself!", Then how do I prevent economic paradigm change in the community forest if the only way "of development ekomomi-based ecotourism attraction utilization, environmental educatoin with adequate facilities". We realize that this earth belong to us and its our duty, to realize the goal of this program we expect only one way to increase visitor tourism Ecotourism Touch Back In Bukit Lawang, this is where our collective contributions and to understand the forest and forest preserve. (Mr. Aca)

Jumat, 29 Januari 2010

FILM ULOS BATAK IKUT MERIAHKAN MEDAN FASHION TREND 2010

Film Ulos Batak untuk Indonesiaku (Harapan Warisan Dulu) produksi UMATIC Studio tahun 2009 ikut meriahkan Medan Fashion Trend 2010 yang membuat kagum pengunjung. Pada kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan ini merupakan kerjasama Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Sumatera Utara dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Sumatera Utara dan didukung Dinas Pariwisata Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2010 bertempat di Hotel JW Marriott, Medan, yang di hadiri oleh Ketua Dekranasda Sumut Hj. Fatimah Habibie Syamsul Arifin, Ketua APPMI Sumut Nilawati Iskandar, Hartono Gan selaku wakil ketua APPMI Sumut, Saurma selaku Dewan Kehormatan, dan Kabid Seni dan Budaya Disbudpar Sumut Hj. Cut Umi. menampilkan puluhan desain terkini dari lima top fashion designer dari Jakarta dan sembilan lokal fashion designer.

Medan Fashion Trend 2010 juga menampilkan karya tenun para penenun khas daerah se-Sumatera Utara, dan karya 5 perancang top fashion desainer dari ibukota, 9 fashion desainer Sumut. Jadi, sesuatu yang menarik bukan saja bagaimana anggota APPMI menampilkan fashion tendance yang menjadi acuan kecenderungan mode tahun 2010 ini.

“Harapan pagelaran event ini nantinya bertujuan menambah daya tarik wisatawan berkunjung ke daerah Sumatera Utara,” ungkap Nurlisa menyatakan dukungannya kepada Panitia Pelaksana Medan Fashion Trend 2010 (MFT 10) dan Pengurus Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Sumatera Utara. (kofi52)

Senin, 25 Januari 2010

POTENSI BACK IN TOUCH ECOTOURISM

BACK IN TOUCH ECOTOURISM

BUKIT LAWANG

Back In Touch Ecotourism merupakan suatu tempat wisata alam yang berada disekitar Bukit Lawang, daerah zona penyanggah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)ini berada tepat di daerah lintasan sungai Bahorok yang sangat terkenal dengan fasilitas cubingnya,

kini malau di gerakan sebagai daerah alternative kunjungan wisata mancanegara.

Guna menunjang Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang berbagai fasilitas telah dipersiapkan diantaranya penginapan dengan konsep alami, restoran, taman tropic serta bermacam flora dan fauna yang khas seperti bunga bangkai, pohon-pohon langkah, orang utan, ikan jurung, burung rangkok, kupu-kupu, dan primate lainnya.Pembangunan ini terpusat pada pertimbangan untuk keseimbangan ekologi dan peyelamatan hutan rakyat yang dilakukan oleh rakyat. Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang mempunyai areal hutan rakyat seluas 30 Ha, fasilitas yang paling istimewa adalah pembangunan areal tracking dan camping ground serta fasilitas “West Cam”, pembangunan dan pengembangan pusat penelitian dengan konsep penyelamatan hutan rakyat berorientasi pada inti penelitian flora dan fauna dari pusat penangkaran orang hutan Bukit Lawang yang berada tepat di atas bibir sungai dengan lintasan yang menantang dan ditambah dengan fasilitas transportasi yang khas Back In Taouch Ecotourism Bukit Lawang (slink transportation) serta perencanaan penangkaran berbagai fauna alamia dengan tujuan pencegahan perpindahan ekosistem atas fauna dari habitat asilnya.

Dukungan atas fasilitas yang tengah dikerjakan adalah pembangunan jalan wisata sepanjang 2 km dan perjalanan menuju ke lokasi lebih kurang 45 menit dari pusat penangkaran orangutan. Semua program ini bertujuan untuk membuka isolasi ekonomi berbasis ekowisata yang selama ini terhambat oleh fasilitas yang tidak memadai. Tentu pembangunan atas ekonomi ekowisata ini bukan semata-mata dalam kerangka bisnis tetapi mendorong kemampuan untuk bertahan hidup masyarakat pinggiran hutan tanpa melakukan ekspolitasi hutan. Gagasan ini juga timbul atas kepedulian terhadap pemanasan global (Global Warming) atau perbaikan kualitas lingkungan. Pembangunan gerakan areal alternative Back In Touch Ecotourism saat ini banyak mengalami kontroversi, salah satu perdebatan yang belum sama-sama dipahami adalah “pradigma lama yang menyatakan setiap pembangunan ekonomi di suatau daerah hutan akan menimbulkan kerusakan lingkungan.

” Memang benar, tetapi efek itu hanya berlaku sesaat dan tidak bigitu besar terhadap kerusakan lingkungan itu sendiri.

Justru pandangan kedepan yang harus kita pahami adalah ketika suatu saat pola berfikir ekonomi masyarakat pinggiran hutan dari masyarakat wisata menjadi petani, atau penjual kayu, dapat kita bayangkan jangankan hutan rakyat, taman nasional sendiri pun perlahan akan habis sebagai sebab dari desakan ekonimi yang terus melilit.

Dan akan terus kami jelaskan dengan satu kalimat penting sebagai landasan filosofis dan sangat perlu kita pahami bersama” bagimana mungkin masyarakat pinggiran hutan mau memelihara hutan, jika mereka tidak makan dari hutan itu sendiri!”, maka bagaimana cara mencegah perubahan pola pikir ekonomis masyarakat pingiran hutan adalah hanya dengan satu cara ”pembangunan ekomomi ekowisata berbasis pemanfaatan daya tarik, edukasi lingkungan dengan fasilitas memadai”. Kami sadar bahwa bumi ini milik kita bersama dan harus sama-sama kita jaga, untuk menwujudkan tujuan program ini kami berharap hanya dengan satu cara peningkatan pengunjung ke kawasan wisata Back In Touch Ecotourism Bukit Lawang, disinilah letak kontribusi dan kebersamaan kita untuk mengerti tentang hutan dan memelihara hutan. (Mr. Aca)